Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Kepala Kantor Imigrasi Polonia Medan, Ridha Sah Putra, menyisakan banyak tanda tanya.

Dilihat dalam website, LHKPN, dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kekayaan Ridha mengalami lonjakan drastis pada tahun 2021.

Dari laporan periodik tahun 2019 yang disampaikan pada Februari 2020, total kekayaan Ridha tercatat Rp1,85 miliar setelah dikurangi utang.

Dua tahun kemudian, dalam laporan periodik 2021 yang disampaikan pada Maret 2022, harta kekayaannya melonjak tajam menjadi Rp6,07 miliar bersih. Artinya, dalam kurun waktu singkat, terdapat kenaikan lebih dari Rp4,2 miliar.

Ironisnya, dalam rincian laporan 2021 itu, tercatat ada pengulangan data tanah dan bangunan, masing-masing tiga kali di Tangerang dan Medan dengan nilai identik.

Akibatnya, sub-total aset tanah dan bangunan membengkak menjadi Rp6,45 miliar, padahal data tahun sebelumnya hanya Rp2,15 miliar.

Dugaan kelalaian atau manipulasi input ini justru menimbulkan pertanyaan besar: apakah sekadar salah pencatatan atau ada indikasi upaya menggembungkan aset.

Menariknya, pada laporan tahun 2022 yang disampaikan Februari 2023, total harta Ridha justru merosot ke Rp3,75 miliar, dan pada 2023 (lapor Januari 2024) kembali turun menjadi Rp3,01 miliar. Penurunan ini semakin mempertegas kejanggalan lonjakan fantastis pada tahun 2021.

"Lonjakan dan penurunan harta seperti ini patut dicurigai. Jika salah input, seharusnya ada koreksi resmi. Jika tidak, ini bisa masuk kategori pelaporan tidak wajar," ujar Direktur Monitor, M Akbar di Medan, Kamis (18/9).

Lebih parah lagi, hingga September 2025, nama Ridha tidak tercatat menyampaikan LHKPN tahun 2024. Padahal, sesuai aturan KPK, setiap pejabat negara wajib menyampaikan laporan periodik harta kekayaan setiap tahun, paling lambat Maret tahun berikutnya.

Jika benar belum melaporkan, Ridha terancam sanksi etik maupun administratif. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN serta Peraturan KPK No. 2 Tahun 2020, pejabat yang lalai menyampaikan LHKPN dapat dikenai.

Seperti, teguran dan pencatatan dalam catatan etik, oenundaan promosi jabatan hingga pemberhentian dari jabatan jika terbukti sengaja menyembunyikan harta.

Kasus ini menunjukkan lemahnya transparansi pejabat publik dalam melaporkan kekayaan. LHKPN seharusnya menjadi instrumen untuk menilai integritas pejabat negara, terutama mereka yang berada di posisi strategis seperti kepala kantor imigrasi.

"Kalau seorang pejabat publik bisa seenaknya salah input atau absen melaporkan harta, lalu bagaimana publik bisa percaya dengan komitmen antikorupsi?," kritik Akbar.