Pengadaan spanduk dan billboard Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumtera Utara (Sumut)

pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 lalu diduga dikendalikan oknum jaksa.

Dari data yang dihimpun wartawan, Rabu (17/9), proyek senilai Rp20 miliar yang bersumber dari hibah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara kepada Bawaslu Sumut.

Informasi yang dihimpun menyebutkan, selain spanduk dan baliho, pengadaan rompi untuk petugas lapangan juga diduga diatur oleh oknum aparat penegak hukum tersebut. Dengan mengandalkan posisinya sebagai penegak hukum, oknum ini diduga berhasil masuk ke lingkaran proyek pengadaan.

Awalnya, jaksa tersebut datang ke Kantor Bawaslu Sumut untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan korupsi pengadaan laptop. Namun, alih-alih menuntaskan penyelidikan, pertemuan dengan pihak internal Bawaslu justru berujung pada lobi-lobi proyek.

Dugaan tukar guling pun mengemuka, berkas penyelidikan berubah menjadi pembahasan pembagian jatah pengadaan.

Setelah mengamankan proyek, oknum jaksa itu mengajak rekanannya untuk mengerjakan paket-paket pengadaan tersebut.

Dugaan semakin menguat karena informasi dari internal Bawaslu sendiri menyebutkan pekerjaan pengadaan benar-benar digarap oleh oknum aparat tersebut.

"Memang infonya dikerjakan oleh jaksa, tapi tidak tahu siapa namanya," kata sumber di internal Bawaslu Sumut beberapa waktu lalu.

Jika benar oknum jaksa bermain proyek maka jelas melanggar aturan. Praktik ini jelas menabrak sejumlah aturan hukum dan kode etik.

Pertama, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, pasal 8 menegaskan jaksa dilarang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan usaha yang merugikan integritas profesinya.

Jaksa juga wajib menjaga independensi dan tidak memanfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi.

Kedua, Kode Etik Jaksa (Peraturan Jaksa Agung No. PER-014/A/JA/11/2012), menyatakan jaksa harus menjunjung tinggi integritas, kejujuran, dan menjauhi benturan kepentingan.

Larangan keras bagi jaksa untuk memanfaatkan kewenangan penyelidikan demi mendapatkan keuntungan proyek.

Ketiga, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Pasal 12 huruf e dan i mengatur larangan penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri atau orang lain.

Dalam kasus ini, dugaan penyalahgunaan jabatan sebagai penegak hukum jelas relevan.

Keempat, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, hibah APBD untuk penyelenggaraan pengawasan pemilu wajib digunakan transparan dan akuntabel.

Campur tangan aparat penegak hukum dalam proyek hibah adalah bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip netralitas.

Sementara itu, PPPK Bawaslu Sumut, Helly yang dikonfirmasi enggan memberikan jawaban terkait dugaan keterlibatan oknum jaksa dalam proyek tersebut.

Hingga berita ini diturunkan, pihak Bawaslu Sumut maupun oknum jaksa yang disebut-sebut mengendalikan proyek belum memberikan keterangan resmi.