Momen sakral detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 yang seharusnya menjadi ruang hening penuh penghormatan kepada para pahlawan bangsa, justru berlalu hambar di Kota Medan.

Alih-alih sirene, penghentian aktivitas, dan suasana khidmat, yang tampak justru kesibukan masyarakat seperti hari biasa.

Pantauan wartawan, Minggu (17/8) di sejumlah titik vital lalu lintas, mulai dari Jalan Raden Saleh, (Simpang Lonsum), Jalan Balai Kota, Jalan Juanda, Brigjend Katamso, Jalan Sisingamangara hingga Bundaran SIB tak terdengar tanda apapun menandakan momen sakral tersebut.

Tidak ada sirene, tidak ada instruksi, bahkan aparat pun absen. Masyarakat tetap sibuk berkendara, berjalan, dan beraktivitas tanpa peduli pada imbauan pemerintah.

Kondisi ini kontras dengan pedoman resmi Menteri Sekretaris Negara melalui surat Nomor B-25/M/S/TU.00.03/08/2025 tertanggal 12 Agustus 2025. Dalam surat itu ditegaskan, seluruh rakyat Indonesia wajib menghentikan aktivitas selama 180 detik, tepat pukul 10.17–10.20 WIB, untuk berdiri tegap saat Bendera Sang Merah Putih dikibarkan dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di Istana Merdeka.

Namun, realitas lapangan di Medan memperlihatkan hal sebaliknya, minim sosialisasi, abai pengawasan, dan nihil komitmen.

Pemerintah Kota Medan (Pemko)

terkesan lepas tangan, sementara aparat tak terlihat mengingatkan. Akibatnya, pesan kebangsaan yang hendak ditegakkan pemerintah pusat justru hilang tak berbekas.

Fenomena ini menunjukkan lemahnya kepemimpinan lokal dalam menanamkan disiplin dan rasa nasionalisme. Tanpa pengorganisasian yang jelas, seruan untuk hening cipta nasional hanya tinggal seremonial di atas kertas.

HUT ke-80 RI seharusnya menjadi momentum refleksi kebangsaan, namun di Medan justru memperlihatkan rapuhnya kesadaran kolektif akan sejarah perjuangan bangsa.

Terlihat yang tersisa hanya lalu lintas yang tak berhenti, aktivitas yang terus berjalan, dan rakyat yang seolah makin jauh dari makna kemerdekaan itu sendiri.