Proyek Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air (OP SDA) Tahun Anggaran 2024 di Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera II kembali menjadi sorotan.

Alih-alih menjaga infrastruktur air untuk kepentingan masyarakat, proyek bernilai ratusan miliar rupiah ini justru dibayangi dugaan praktik kolusi, nepotisme, hingga tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat internal dan keluarganya.

Informasi yang dihimpun Masyarakat Observasi Nasional Integritas dan Optimalisasi Reformasi (MONITOR) menyebutkan, sejumlah kegiatan swakelola di bawah Satuan Kerja Operasi dan Pemeliharaan (Satker OP) BWS Sumatera II diduga tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Direktur MONITOR, Yudi mengatakan

proyek-proyek pemeliharaan sungai, embung, hingga bendung yang menelan dana jumbo justru dikendalikan oleh oknum pejabat, dengan menyeret adik kandung dan kerabat dekat sebagai pelaksana bayangan.

"Dari dokumen yang beredar, pola kejanggalan langsung terlihat. Banyak paket proyek dibanderol dengan angka seragam, Rp 1 miliar, Rp 1,5 miliar, hingga Rp 2 miliar," kata Yudi kepada wartawan, di Medan, Sabtu (16/8) malam.

Menurut Yudi, pola pembulatan anggaran ini mengindikasikan perhitungan asal-asalan, seolah-olah proyek hanya disiapkan untuk kepentingan bagi-bagi, bukan kebutuhan teknis di lapangan.

Contoh mencolok, Pemeliharaan Berkala Sungai Deli digelontorkan Rp 1 miliar, Pemeliharaan Berkala Bendung D.I. Batang Angkola Rp 1,5 miliar, hingga Pemeliharaan Berkala D.I.R. Panai 2200 Ha senilai Rp 2 miliar. Pola pengulangan ini semakin memperkuat dugaan adanya rekayasa anggaran.

Lebih parah lagi, lanjut Yudi, proyek swakelola yang semestinya dikerjakan masyarakat atau pihak independen justru diduga dikendalikan pejabat BWS sendiri. Perusahaan rekanan hanya dijadikan stempel kontrak. Direktur perusahaan sekadar tanda tangan dokumen, tanpa tahu-menahu soal pekerjaan di lapangan.

"Artinya, proyek negara dijalankan dengan modus perusahaan boneka, sementara kendali penuh ada di tangan pejabat yang seharusnya mengawasi, bukan menjadi pelaksana. Praktik ini jelas melanggar prinsip pengadaan barang/jasa, dan patut diduga masuk kategori tindak pidana korupsi serta kolusi," ungkapnya.

Lebih lanjut, Yudi menduga keterlibatan keluarga dekat pejabat BWS Sumatera II menambah bobroknya praktik ini. Adik kandung dan kerabat disebut-sebut menjadi pelaksana lapangan. Fakta ini bukan hanya konflik kepentingan, tapi juga bentuk nepotisme terang-terangan yang merugikan negara dan masyarakat.

"Bagaimana mungkin proyek rakyat dijalankan oleh segelintir orang yang memiliki hubungan darah dengan pejabat, sementara ribuan kontraktor dan pekerja profesional justru disingkirkan ?," sebutnya.

Karena itu, Yudi secara tegas tegas meminta Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) segera turun tangan.

"Kami mendesak Bidang Pidsus Kejatisu untuk membuka penyelidikan. Panggil pejabat Satker OP BWS Sumatera II, panggil seluruh direktur perusahaan pelaksana, dan cek fakta di lapangan. Kalau direktur perusahaan bicara jujur, semua akan terbongkar: siapa pejabat BWS yang menjadi aktor di balik proyek ini," tegasnya.

Menurut Yudi, kasus ini bukan sekadar dugaan administrasi, melainkan potensi state capture corruption penguasaan proyek negara oleh segelintir pejabat dan keluarganya demi memperkaya diri.

Yudi menerangkan, skandal BWS Sumatera II adalah cermin rusaknya tata kelola anggaran publik. Dengan nilai proyek mencapai ratusan miliar rupiah, pembiaran terhadap praktik kolusi dan nepotisme sama saja membiarkan uang rakyat mengalir ke kantong pribadi pejabat.

"Kejatisu tidak boleh menutup mata. Publik menunggu keberanian aparat penegak hukum untuk memutus lingkaran korupsi di tubuh BWS Sumatera II. Penyelidikan harus segera dibuka, aset negara harus diselamatkan, dan aktor-aktor utama di balik proyek OP SDA 2024 harus diseret ke meja hijau," pungkasnya.